Rabu, 23 Maret 2011

genetika

GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN
STRUKTUR DAN PEMBELAHAN SEL











OLEH:
LA SUKIRMAN
I1A2 09 076

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011

GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN
STRUKTUR DAN PEMBELAHAN SEL










OLEH:
WA HAMSINA
I1A2 09 049

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011



GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN
STRUKTUR DAN PEMBELAHAN SEL










OLEH:
ISRATIN
I1A2 09 071

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011
PEMBELAHAN SEL

Pembelahan sel merupakan proses pewarisan sifat dari induk kepada keturunannya. Pembelahan sel bertujuan untuk membentuk sel anakan yang secara genetik bersifat ekuivlen.Proses ini merupakan suatu bagian integral dari siklus sel,kehidupan suatu sel yang dimulai dari asal usulnya dalam pembelahan sel induk hingga pembelahan dirinya sendiri menjadi dua bagian.
Pewarisan sifat dari induk kepada keturunannya tida terlepas dari dua macam peristiwa pembelahan sel yaitu mitosis dan meiosis.
a. Mitosis
Mitosis merupakan periode pembelahan sel yang berlangsung pada jaringan titik tumbuh. Proses mitosis terjadi dalam empat fase, yaitu profase, metafase, anafase, dan telofase. Fase mitosis tersebut terjadi pada sel tumbuhan maupun hewan. Terdapat perbedaan mendasar antara mitosis pada hewan dan tumbuhan. Pada hewan terbentuk aster dan terbentuknya alur di ekuator pada membran sel pada saat telofase sehingga kedua sel anak menjadi terpisah. Pembelahan mitosis menghasilkan sel anakan yang jumlah kromosomnya sama dengan jumlah kromosom sel induknya, pembelahan mitosis terjadi pada sel somatic (sel penyusun tubuh).

Tahap-tahap pembelahan mitosis


Gambar pembelahan sel secara mitosis
 Profase
Pada awal profase, sentrosom dengan sentriolnya mengalami replikasi dan dihasilkan dua sentrosom. Masing-masing sentrosom hasil pembelahan bermigrasi ke sisi berlawanan dari inti. Pada saat bersamaan, mikrotubul muncul diantara dua sentrosom dan membentuk benang-benang spindle yang membentuk seperti bola petak. Pada sel hewan, mikrotubul lainnya menyebar dan kemudian membentuk aster. Pada bersamaan, kromosom teramati dengan jelas, yaitu terdiri dari dua kromatid identik yang terbentuk pada interfase. Dua kromatid identik tersebut bergabung pada sentromernya. Benang-benang spindle terlihat memanjang dari sentromer (Cambell et al. 1999).
 Metafase
Masing-masing sentromer mempunyai dua kinetokor dan masing-masing dihubungkan ke satu sentrosom oleh serabut kinetokor. Sementara itu, kromatid bersaudara bergerak ke bagian tengah inti membentuk keping metafase (metaphasic plate) (Cambell et al. 1999).
 Anafase
Masing-masing kromatid memisahkan diri dari sentrosom dan masing-masing kromosom membentuk sentromer. Masing-masing kromosom ditarik oleh benang kinetokor ke kutubnya masing-masing (Cambell et al. 1999).
 Telofase
Ketika kromosom saudara sampai ke kutubnya masing-masing, mulainya telofase. Kromosom saudara tampak tidak beraturan dan jika diwarnai, terpulas kuat dengan pewarna histologi (Cambell et al. 1999).
b. Meiosis
Meiosis hanya terjadi pada fase reproduksi seksual atau oada jaringan muftah. Pada meiosis, terjadi perpasangan dari kromosom homolog serta terjadi pengurangan jumlah kromosom induk terhadap sel anak. Di samping itu, pada meiosis terjadi dua kali periode pembelahan sel, yaitu pembelahan I (meiosis I) dan pembelahan II (meiosis II). Meiosis I dan Meiosis II terjadi pada sel tumbuhan dan sel hewan. Pada meiosis I dan meiosis II, terjadi fase-fase pembelahan seperti pada mitosis. Oleh karena itu, dikenal adanya profase I, metafase I, anafase I, telofase I, profase II, metafase II, anafase II, dan telofase II. Akibat adanya dua kali pembelahan sel, maka pada meiosis, satu sel induk akan menghasilkan empat sel baru yang masing-masing sel mngandung jumlah kromosom setengah dari jumlah kromosom sel induk.

Tahap-tahap meiosis I:






 Profase I
Pasangan kromosom homolog berderet di daerah ekuator. Sentromer menuju kutub dan mengeluarkan benang2 spindel. TAHAP Anafase I : Kromosom homolog berpisah dan bergerak ke kutub yang berlawanan. Benang spindel dan seluruh isi sel memanjang ke arah kutub. .
 Metafase I
Pada tahap ini, tetrad menempatkan dirinya pada bidang ekuator. Membrane inti sudah tidak tampak lagi dan sentromer terikat oleh spindel pembelahan.
 Anafase I
Pada tahap ini, spindel pembelahan memendek dan menarik belahan tetrad (diad) ke kutub sel berlawanan sehingga kromosom homolog dipisahkan. Kromosom hasil crossing over yang bergerak ke kutub sel membawa materi genetic yang berbeda.
 Telofase I
Pada tahap ini, membrane sel membentuk sekat sehingga terbentuk dua sel anak yang bersifat haploid, tetapi setiap kromosom masih mengandung dua kromatid (siser cromatid) yang tehubung melalui sentromer.


















Tahap-tahap Meiosis II:


















 Profase II
a. Benang – benang kromatin berubah kembali menjadi kromosom.
b. Kromosom yang terdiri dari 2 kromatida tidak mengalami duplikasi lagi.
c. Nucleolus dan dinding inti menghilang.
d. Sentriol berpisah menuju kutub yang berlawanan.
e. Serat – serat gelendong terbentuk diantara 2 kutub pembelahan.
 Metafase II
Kromosom kebidang ekuator menggantung pada serat gelendong melalui sentromernya.
 Anafase II
Kromatida berpisah dari homolognya, dan bergerak menuju ke kutub yang berlawanan.
 Telofase II
a. Kromosom berubah menjadi benang – benang kromatin kembali.
b. Nucleolus dan dinding inti terbentuk kembali.
c. Serat – serat gelendong menghilang dan terbentuk sentrosom kembali.

laporN AVER

LAPORAN AVERTEBRATA AIR


(FILUM CRUSTACEA)





OLEH :

NAMA : LA SUKIRMAN
NO. STAMBUK : I1A209076
PROG. STUDI : BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN : PERIKANAN
KELOMPOK : XI
ASISTEN PEMB. : ZULFATRI RANDHI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Crustacea adalah suatu kelompok besar dari arthropoda terdiri dari kurang lebih 52.000 spesies yang terdeskripsikan, dan biasanya dianggap sebagai suatu subfilum Kelompok ini mencakup hewan-hewan yang cukup dikenal seperti lobster, kepiting, udang, udang karang, serta teritip. Mayoritas merupakan hewan air, baik air tawar maupun laut, walaupun beberapa kelompok telah beradaptasi dengan kehidupan darat, seperti kepiting darat. Kebanyakan anggotanya dapat bebas bergerak, walaupun beberapa takson bersifat parasit dan hidup dengan menumpang pada inangnya.
Tubuh Crustacea terdiri atas dua bagian, yaitu kepala dada yang menyatu (sefalotoraks) dan perut atau badan belakang (abdomen). Bagian sefalotoraks dilindungi oleh kulit keras yang disebut karapas dan 5 pasang kaki yang terdiri dari 1 pasang kaki capit (keliped) dan 4 pasang kaki jalan. Selain itu, di sefalotoraks juga terdapat sepasang antena, rahang atas, dan rahang bawah. Sementara pada bagian abdomen terdapat pasang kaki renang dan di bagian ujungnya terdapat ekor. Pada udang betina, kaki di bagian abdomen juga berfungsi untuk menyimpan telurnya. Sistem pencernaan Crustacea dimulai dari mulut, kerongkong, lambung, usus, dan anus. Sisa metabolisme akan diekskresikan melalui sel api. Sistem saraf Crustacea disebut sebagai sistem saraf tangga tali, dimana ganglion kepala (otak) terhubung dengan antena (indra peraba), mata (indra penglihatan), dan statosista (indra keseimbangan). Hewan-hewan Crustacea bernapas dengan insang yang melekat pada anggota tubuhnya dan sistem peredaran darah yang dimilikinya adalah sistem peredaran darah terbuka O2 masuk dari air ke pembuluh insang, sedangkan CO2 berdifusi dengan arah berlawanan. O2 ini akan diedarkan ke seluruh tumbuh tanpa melalui pembuluh darah. Golongan hewan ini bersifat diesis (ada jantan dan betina) dan pembuhan berlangsung di dalam tubuh betina (fertilisasi internal). Untuk dapat menjadi dewasa, larva hewan akan mengalami pergantian kulit (ekdisis) berkali-kali.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui bentuk filum crustacea secara morfologi dan anatomi serta bagian-bagian filum crustacea serta dapat membedakan antara yang jantan dan yang betina.
Manfaat yang dapat diambil dari prkatikum ini adalah sebagai bahan masukan untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta jenis-jenis mengenai filim crustacea.





II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi
1. Udang Windu (Penaeus monodon)
Udang Windu (Penaeus monodon) oleh Fabricius (1798), dalam Dewi (2006) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub filum : Invertebrata
Class : Crustacea
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon.





Gambar 29 . Penaeus monodon



2. Udang putih ( Penaeus merguensis)
Udang Putih (Penaeus merguensis) oleh Racek dan Dall (1965), dalam Cahyo (2007) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub filum : Invertebrata
Class : Crustacea
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus merguensis







Gambar 30. Penaeus marguensis




B. Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Kepiting Bakau (Scylla serata) oleh Champel dan Stephenson (1959), dalam Pratiwi (2001) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub filum : Invertebrata
Class : Crustacea
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata



Gambar 31. Scylla serrata



A. Kepiting rajungan ( Portunus pelagicu)
Rajungan (Portunus pelagicus) oleh Champel dan Stephenson (1959), dalam Irmayanti (2003) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub filum : Invertebrata
Class : Crustacea
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus



Gambar 32. Portunus pelagicus


5. Lobster (Panulirus sp.)
Menurut Spence (1989), Panulirus spp. dalam Anonim (2010) Di klasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub filum : Invertebrata
Class : Crustacea
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Palurinudae
Genus : Panulirus
Spesies : Panulirus sp.




Gambar 34. Panulirus spp.



2.2. Morfologi dan Anatomi
Tubuh Crustacea bersegmen (beruas) dan terdiri atas sefalotoraks (kepala dan dada menjadi satu) serta abdomen (perut). Bagian anterior (ujung depan) tubuh besar dan lebih lebar, sedangkan posterior (ujung belakang)nya sempit. Pada bagian kepala terdapat beberapa alat mulut, yaitu 2 pasang antena, 1 pasang mandibula untuk menggigit mangsanya, 1 pasang maksilla dan 1 pasang maksilliped. Maksilla dan maksiliped berfungsi untuk menyaring makanan dan menghantarkan makanan ke mulut. Alat gerak berupa kaki (satu pasang setiap ruas pada abdomen) dan berfungsi untuk berenang, merangkak atau menempel di dasar perairan (Anonim, 2005).
Secara garis besar, tubuh udang dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax) dan bagian tubuh sampai ke ekor (abdomen). Bagian kepala ditutupi sebuah kelopak kepala (cerapace) yang di bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut dengan cucuk kepala (rostrum). Pada udang windu, gigi rostrum bagian atas biasanya tujuh buah dan bagian bawah tiga buah (rumusnya 7/3). Sedangkan rumus untuk udang putih biasanya 8/5. Semua tubuh terbagi atas ruas-ruas yang ditutupi oleh kerangka luar yang mengeras, terbuat dari chitin. Di bagian kepala terdapat 13 ruas dan di bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala, di antara rahang-rahang (mandibula) dan di kanan kiri sisi kepala yang tertutup oleh kelopak kepala terdapat insang. ( Anonim, 2008).
Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, dimana rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapaksnya. Duri akhir pada kedua sisi karapaks relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air. Dengan melihat warna dari karapaks dan jumlah duri pada karapaksnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau (Romimohtarto dan Juwana, 2000).
Tubuh kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang sangat keras, dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting hidup di air laut, air tawar dan darat dengan ukuran yang beraneka ragam, dari pea crab, yang lebarnya hanya beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan rentangan kaki hingga 4 m (Anonim, 2008).
Lobster (Panulirus sp.) termasuk jenis krustasea yang dibedakan dalam 2 grup, yaitu memiliki capit, dan tanpa capit. marine lobster, atau biasa disebut crayfish di Australia, adalah contoh lobster yang tidak memiliki capit. lobster memiliki kulit yang keras untuk melindungi organ-organ internalnya. terdapat 6 pasang "tangan" kecil di sekitar mulut lobster, dan 5 pasang kaki pada tubuhnya untuk berjalan .Lobster (Panulirus sp) betina, biasanya memiliki area dorsal sampai ekor yang lebih lebar, ini digunakan untuk menyimpan telur. pada lobster betina, swimmerets lebih lembut dibanding jantan. pada jantan, bagian swimmerets lebih tebala dan keras. (Anonim, 2010).
2. 3. Habitat dan Penyebaran
Kepiting Bakau (Scylla serrata) hidup di daerah estuaria dari pantai yang didominasi hutan bakau, serta dapat hidup dan tumbuh pada kisaran salinitas yang cukup besar sehingga daerah penyebaran cukup luas dan dapat dijumpai sepanjang tahun. Dalam menjalani hidupnya kepiting bakau berupaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan kembali ke perairan pantai, muara-muara sungai atau perairan hutan bakau (Pratiwi, 2001).
Rajungan (Portunus pelagicus) memiliki tempat hidup yang berbeda dengan jenis kepiting pada umumnya seperti kepiting bakau (Scylla serrata), tetapi memiliki tingkah laku yang hampir sama dengan kepiting bakau. Rajungan merupakan jenis kepiting perenang yang juga mendiami dasar lumpur berpasir sebagai tempat berlindung. Jenis rajungan ini banyak terdapat pada lautan Indo-Pasifik dan India. Sementara itu informasi dari panti benih rajungan milik swasta menyebutkan bahwa tempat penangkapan rajungan terdapat di daerah Gilimanuk (pantai utara Bali), Pengambengan (pantai selatan Bali), Muncar (pantai selatan Jawa Timur), Pasuruan (pantai utara Jawa Timur), daerah Lampung, daerah Medan, dan daerah Kalimantan Barat (Romimohtarto dan Juwana, 2000).
Habitat yang dihuni oleh sebagian besar udang termasuk udang putih adalah perairan yang mempunyai perairan yang landai, bermuara sungai-sungai kecil, dasar berpasir kadang berbatu dan bercampur bahan organik. Hidupnya bergerombol, menguburkan diri, ganti kulit (molting), dan melakukan daur hidup. Faktor yang mempengaruhi penyebarannya adalah habitat atau tempat berlindung bagi udang, beberapa faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, dan makanan (Cahyo, 2007).
Semua lobster (Panulirus sp) adalah aquatic, lobster (Panulirus sp) dewasa yang bercapit maupun yang tidak memiliki capit hidup di laut, tetapi untuk lobster yang masih kecil hidup di air tawar seperti sungai, danau, dan lain lain,hewan ini juga bisa hidup di air keruh. Hal ini sangat menguntungkan agar dapat terhindah dari musuh alaminya. Biasanya hidup pada perairan dengan dasar berlumpur dengan beberapa bebatuan dan beberapa potongan cabang tanaman. Lobster yang dipelihara pada lingkungan dengan substrat baerbatu dan berlumpur bisa tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan yang hidup dengan substrat buatan, misalnya dari plastik. (Anonim, 2005).








III. METODE PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 8 Oktober 2010 pukul 13.00- Selesai dan bertempat di Laboratorium C, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Univeritas Haluoleo, Kendari.
3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Alat dan bahan beserta fungsinya.
No. Alat dan Bahan Fungsi

1.
2.
3.
4.
.

1.

2.

3.
4.

5. A. Alat
Baki (Dissecting-pan)
Pisau bedah
Alat menggambar
Buku Identifikasi

B. Bahan
Udang windu(Penaeus monodon)
Udang putih (Penaeus merguensis)
Kepiting bakau (Scylla serrata)
Kepiting rajungan (Portunus pelagicus)
Lobster (Panulirus spp)
- Tempat meletakan bahan pengamatan
- Untuk membedah bahan
- Untuk menggambar morfologi organisme yang di amati.
- Untuk mengidentifikasi organisme yang di amati.


- Sebagai organisme yang diamati

- Sebagai organisme yang diamati


- Sebagai organisme yang diamati
- Sebagai organisme yang diamati


- Sebagai organisme yang di amati


3.3. Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja pada praktikum kali ini sebagai berikut:
1. Melakukan pengamatan pada organisme filum crustacea yang telah diambil dari perairan
2. Meletakkan orgaisme pada baki kemudian mengidentifikasi bagian-bagian organism tersebut.
3. Menggambar bentuk secara morfologi dan anatomi pada bagian-bagian organisme yang telah diidentifikasi dan diberi keterangan pada buku gambar.











IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pangamatan
1. Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Keterangan :
1. Carpus.
2. Mata
3. Prupondus
4. Merus
5. Lateral spine
6. Kaki renang
7. Kaki jalan
8. Cabik



Gambar 35. Morfologi Scylla serrata

2. Kepiting rajungan (Portunus pelagicus)
Keterangan:
1. Carpus
2. Mata
3. Propundus
4. Merus
5. Lateral spine
6. Kaki renang
7. Kaki jalan
8. Cabit


Gambar 36. morfologi Portunus pelagicus
3. Lobster (Panulirus sp)
Keterangan:

1. Cabit
2. Thorax
3. Sepha latorax
4. Antena
5. Antenula
.6. Cheliped
7. Kepala
8. Kaki jalan









Gambar 37. Morfologi Panulirus spp.











4. Udang windu (Penaeus monodon)
Keterangan :
1. Antena
2. Antenula
3. Maksila
4. Sheliped
5. Kaki jalan
6. Kaki renang
7. Perut
8. Chepalatorax
9. Karapaks




Gambar 38. morfologi Panaeus monodon








5. Udang Putih ( Penaeus merguensis)
Keterangan :
1. Antena
2. Antenula
3. Maksila
4. Sheliped
5. Kaki jalan
6. Kaki renang
7. Perut
8. Chepalatorax
9. Karapaks



Gambar 39 morfologi Penaeus merguensis

4. 2. Pembahasan
Pada pengamatan Scylla serrata dan Portunus pelagicus baik tampak morfologinya hampir sama yaitu terdiri dari, propondus, mata, merus, kaki renang, karapaks dan kaki jalan, lateral spine dan cabik.. Sedangkan pada bagian ventral terdiri dari maksiliped ketiga, telson, sternum dan abdomen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pratiwi (2001), yang menyatakan bahwa bagian tubuh Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus) sama persis dengan Kepiting Bakau (Scylla serata) dan pada anteriornya terdapat mata yang dilengkapi dengan tangkai mata yang digunakan untuk melihat di dalam air, pada bagian sisi anterior disebut antero lateral margin. Selain itu ditemukan juga sepasang capit yang digunakan untuk pertahanan tubuhnya dari serangan musuh dan menjepit mangsanya. Tubuhnya ditutupi oleh sejenis cangkang yang keras dan tersusun atas zat kitin yang disebut karapaks. Yang membedakan antara Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus) dan Kepiting Bakau (Scylla serata) yaitu pada bagian sisi tubuh kepiting rajungan terdapat ujung yang runcing yang disebut Epibranchial spine dan warnanya karena pada kepiting rajungan memiliki warna beberapa warna dan chorak sedangkan pada kepiting bakau tidak bercorak dan warnanya hanya satu yaitu hitam abu-abu. Hewan ini umumnya pemakan moluska, kepiting tersebut makan dengan cara memecah atau menghancurkan cangkang moluska dengan kekuatan “chela” atau capitnya.
Kepiting jantan dapat dibedakan dari kepiting betina, yaitu dengan cara melihat dari bentuk bagian perutnya (abdomen). Bentuk abdomen jantan umumnya sempit dan meruncing ke depan atau berbentuk segitiga, sedangkan bentuk abdomen kepiting betina berbentuk segitiga yang melebar sampai berbentuk agak bulat atau semicircular.
Pada pengamtan Panulirus sp, tampak bentuk morfologi tubuhnya terdiri dari beberapa bagian yaitu Cabit, Antenula, Thorax, Cheliped, Sepha latorax , , Kepala, Antena dan kaki jalan. .Lobster (Panulirus sp) betina, biasanya memiliki area dorsal sampai ekor yang lebih lebar, ini digunakan untuk menyimpan telur. pada lobster betina, swimmerets lebih lembut dibanding jantan. pada jantan, bagian swimmerets lebih tebala dan keras. Habitat hewan ini yaitu di laut dan ada juga pada air tawar. Hewan melakukan reproduksi secara seksual dengan cara kawin , lobster jantan mentransfer sejumlah sperma pada lobster betina yang terlihat seperti lem lengket yang berada diantara kaki. sperma kemudian disimpan lewat lubang didekat kaki ketiga. di alam hewan ini memakan: tanaman aquatik, alga, ikan kecil, dan bahkan ikan yang sudah mati. jangan memberi makan lobster terlalu banyak, karena makanan yang tersisa dapat membuat air menjadi keruh dan bau.
Pada pengamatan Penaeus monodon dan Panaeus. merguensis yang termasuk dalam kelas Crustacea tampak morfologinya sama terdiri dari chepalotoraks, perut (abdomen), mata majemuk, antenulla, karapaks, telson, uropod, kaki jalan dan kaki renang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonim (2008), yang menyatakan bahwa tubuh udang dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax) dan bagian tubuh sampai ke ekor (abdomen). Pada udang windu (Penaeus monodon), gigi rostrum bagian atas biasanya tujuh buah dan bagian bawah tiga buah (rumusnya 7/3). Sedangkan rumus untuk udang putih (Penaeus merguensis) biasanya 8/5. Habitat yang dihuni oleh sebagian besar udang termasuk udang putih adalah perairan yang mempunyai perairan yang landai, bermuara sungai-sungai kecil, dasar berpasir kadang berbatu dan bercampur bahan organik. Hidupnya bergerombol, menguburkan diri, ganti kulit (molting), dan melakukan daur hidup.




V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan maka dapat di simpulkan sebagai berikut :
1. Udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih (P. merguensis) memiliki morfologi yang sama terdiri dari chepalotoraks, perut (abdomen), mata majemuk, antenulla, karapaks, uropod, kaki jalan dan kaki renang. Namun yang membedakannya yaitu mata P. merguensis dan P. Monodon yaitu pada giri rostrumnya yang mana kalau pada P. Merguensis terdiri dari bagian atas 8 buah dan bawah 5 buah sedangkan pada P. Monodon hanya 7 buah bagian atas dan 3 buah pada bagian bawahnya.
2. Kepiting bakau (Scylla serrata) dan rajungan (Portunus pelagicus) memiliki morfologi yang hampir sama, yaitu terdiri dari , propondus, merus, mata, gigi, kaki renang, karapaks dan kaki jalan. Tapi yang membedakan antara Scylla serrata dan Portunus pelagicus yaitu pada Portunus pelagicus terdapat ephibranchial spine dan warnanya.
3. Panulirus sp, tampak bentuk morfologi tubuhnya terdiri dari beberapa bagian yaitu Cabit, Antenula, Thorax, Cheliped, Sepha latorax , , Kepala, Antena dan kaki jalan.

5.2. Saran
Saran yang dapat saya sampaikan adalah agar setiap anak praktikan pada saat selesai melakukan praktek agar semua alat yang di gunakan dibersihkan dan di simpan pada tempatnya.













DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Arthropoda.
http://www.edu2000.org/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=255&Itemid=238. Di akses pada tanggal10. Oktober 2010 pukul 18.00 WITA.

_ _ _ _ _. 2008. Crustacea. http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=78&fname=bio111_08.htm.
Di akses pada tanggal10 Oktober 2010 pukul 18.00 WITA.

_ _ _ _ _. 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Panulirus_versicolor).Di akses pada tanggal 10 Otober 2020 pukul 18.00 WITA

_ _ _ _ . 2008. Penuntun Praktikum Avertebrata Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.

Cahyo. 2007. Study Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Udang Putih (Penaeus merguensis) di Peraian Kasipute Kec. Rumbia Kab. Bombana Prov. Sulawesi Tenggara. Skripsi. Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.

Irmayanti. 2003. Pengaruh Dosis Pakan Rucah Segar yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Rajungan (Portunus pelagicus) Keramba Jaring Apung. Skripsi. Universitas Haluoleo. Kendari.

Pratiwi, E.W., 2001. Pengaruh Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Periode Molting Kepiting Bakau (Scylla serata). Skripsi. Universitas Haluoleo. Kendari.

Romimohtarto dan Juwana. 2000. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta.

laporan aver

LAPORAN AVERTEBRATA AIR

PRAKTIKUM
(FILUM ANNELIDA)





OLEH :

NAMA : LA SUKIRMAN
NO. STAMBUK : I1A209076
PROG. STUDI : BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN : PERIKANAN
KELOMPOK : XI
ASISTEN PEMB. : ZULFATRI RANDHI


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Annelida berasal dari kata annulus yang artinya cincin. Cacing ini bentuknya gilik, memanjang, tersusun atas ruas-ruas atau segmen. Pada setiap segmen terdapat alat-alat tubuh misalnya alat pengeluaran, alat reproduksi, serabut saraf dan sebagainya sehingga setiap segmen itu memiliki kesamaan. Segmen yang sama tersebut disebut metameri. Hewan ini tergolong triploblastik selomata.
Phylum Annelida ialah cacing yang beruas-ruas. Di antaranya yang terkenal ialah cacing tanah dan cacing laut, terdapat di laut, air tawar, dan darat. Ciri khas Phylum Annelida ialah tubuh yang terbagi menjadi ruas-ruas (segment) yang sama baik di bagian luar maupun di bagian dalam kecuali saluran pencernaan dan tersusun sepanjang antero-posterior. Semua organ pembuluh darah, syaraf, alat ekskresi dan gonad terdapat di setiap ruas (Aslan, dkk., 2008).
Filum Annelida merupakan cacing selomata berbentuk gelang yang memiliki tubuh memanjang, simetri bilateral, bersegmen, dan permukaannya dilapisi kutikula. Dinding tubuh dilengkapi otot. Memiliki prostomium dan sistem sirkulasi. Saluran pencernaan lengkap. Sistem ekskresi sepasang nephridia di setiap segmen. Sistem syaraf tangga tali. Sistern respirasi terdapat pada epidermis. Reproduksi monoesis atau diesis dan larvanya trokofor/veliger. Kebanyakan cacing annelida hidup akuatik di laut dan terestrial di air tawar atau darat. Filum Annelida dibagi menjadi kelas Polychaeta, Oligochaeta, dan Hirudinea. Pembagian ke dalam kelas terutama didasarkan pada segmentasi tubuh, seta, parapodium, sistem sirkulasi, ada tidaknya batil isap, dan sistem reproduksi. Kelas Polychaeta dibagi menjadi kelompok Errantia dan Sedentaria didasarkan pada kesempurnaan bentuk parapodium, siri, ada tidaknya rahang, probosis, bentuk segmen dan letak insang. Kelas Oligochaeta dibagi menjadi ordo Plesiopora, Prosotheca, Prosopora, dan Opisthopora berdasarkan alat ekskresi, letak gonofor, dan letak spermateka. Kelas Hirudinea dibagi menjadi ordo Acanthobdellida, Rhynchobdellida, Dnathobdellida, dan Erpobdellida berdasarkan ada tidaknya batil isap dan probosis, serta septum pada segmen tubuh. Beberapa spesies dari Filum Annelida memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.
Berdasarkan hal di atas maka praktikum tentang Filum Annelida penting untuk dilakukan.

1.2 . Tujuan dan Manfaat Praktikum

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui bentuk secara morfologi dan anatomi serta bagian-bagian filum Annelida.
Manfaat yang dapat diambil dari praktikum ini sebagai bahan masukan untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta jenis-jenis filum Annelida.






II. TINJAUAN PUSTAKA


2. 1. Klasifikasi
1. Cacing laut (Nereis sp.)

Gambar 23 . Nereis sp.
Menurut Anonim (2002), klasifikasi cacing laut sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Sub filum : Invertebrata
Class : Polychaeta
Ordo : Errantia
Famili : Nereidae
Genus : Nereis
Spesies : Nereis sp.





2. Cacing Tanah (Lumbricus terrestris)



Gambar 24. Lumbricus terrestis
Menurut Kikie (2006), klasifikasi cacing tanah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Sub filum : Invertebrata
Class : Oligochaeta
Ordo : Ophistopora
Famili : Pheretimidaeri
Genus :Lumbricus
Spesies : Lumbricus terrestis
2.2. Morfologi dan Anatomi
Ciri khas Phylum Annelida adalah tubuh terbagi menjadi ruas-ruas yang sama sepanjang sumbu anterior dan posterior. Bagian tubuh paling anterior disebut prostomium bukanlah suatu ruas, demikian pula bagian di ujung posterior yang disebut pigidium, dimana terdapat anus. Segmentasi pada annelida tidak hanya membagi otot dinding tubuh saja melainkan juga menyekat rongga tubuh atau coelom dengan sekatan yang disebut septum, jamak septa. Tiap septum terdiri dua lapis peritoneum, masing-masing berasal dari ruas di muka dan di belakangnya. Saluran pencernaan lengkap, lebih kurang lurus, memanjang dari mulut di anterior dan anus di posterior. Pencernaan ekstraseluler dan alat eksresi adalah nephridia, terutama metanephridia, yang terdapat sepasang di tiap ruas. Sistem pernafasannya melalui seluruh kulit, insang atau apendiks. Peredaran darah tertutup dan sistem saraf terdiri dari sepasang cerebral ganglia atau otak pada prostomium. Saraf penghubung melingkari pharynx, sebuah atau sepasang banang saraf ventral sepanjang tubuh, yang dilengkapi sebuah ganglion dan sepasang saraf lateral pada tiap ruas (Simmon, 2004).
Cacing Polychaeta umumnya berukuran panjang 5-10 cm dengan diameter 2-10 mm. Pada tiap sisi lateral ruas tubuh polychaeta, kecuali kepala dan bagian ujung posterior, biasanya terdapat sepasang parapodia dengan sejumlah besar setae. Parapodia merupakan pelebaran dinding tubuh yang pipih dan biramus, terdiri atas notopodium dan neuropodium, masing-masing ditunjang oleh sebuah batang kitin yang disebut acicula. Pada notopodium terdapat cirrus dorsal dan pada neuropodium terdapat cirrus ventral. Pada prostomium terdapat mata, antena dan palp. Sesudah prostomium mengalami modifikasi dengan adanya alat indera seperti cirrus peristomium, prostomium dan peristomium dianggap sebagai polychaeta. Gerak polychaeta disebabkan oleh perpaduan gerak antara parapodia, otot dinding tubuh dan cairan rongga tubuh. Polychaeta umumnya bernafas dengan insang, tetapi bentuk dan letaknya berbeda-beda tergantung jenisnya. Meskipun mempunyai insang, pertukaran gas melalui permukaan tubuh masih terjadi. Pada umumnya insang berkaitan erat dengan parapodia atau meruapakan modifikasi dari sebagian parapodia, misalnya cirrus dorsal. Pada polychaeta dengan metamerik hampir sempurna, tiap ruas mengandung insang kecuali ujung anterior dan posterior. Pada cacing yang mengalami modifikasi, jumlah dan letak insang terbatas pada ruang-ruang tertentu (Aslan, dkk,. 2007).
Cacing Tanah (Lumbricus terrestris) tubuhnya silindris, segmennya tampak jelas memiliki sedikit rambut. Kepala (prostomium) jelas, tetapi tidak dilengkapi mata, tentakel, dan parapodia, tetapi tetap peka terhadap cahaya karena di sepanjang tubuhnya terdapat organ-organ perasa. Pada sepertiga dari bagian depan tubuhnya terdapat clitellum yang dibentuk oleh beberapa segmen berdekatan yang mengalami penebalan. Di dalam clitellum berisi berbagai macam kelenjar. Kepalanya kecil dan tidak mempunyai alat peraba (Pratiwi, 2000).
2.3 Habitat dan Penyebarannya
Polychaeta banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir. Beberapa jenis hidup dibawah batu, dalam lubang lumpur dan yang lainnya lagi hidup dalam tabung yang terbuat dari berbagai bahan. Meskipun mereka adalah hewan benthic, tetapi beberapa jenis berenang bebas di dekat permukaan laut, terutama selama musim memijah. (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Kelas Oligochaeta merupakan jenis akuatik terdapat pada segala habitat air tawar, terutama yang dangkal. Umumnya membuat liang di dalam lumpur atau sampah (Aslan, dkk., 2008).
III. METODE PRAKTIKUM


3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 15 Oktober 2010 pukul 15.00 - Selesai dan bertempat di Laboratorium C, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Univeritas Haluoleo, Kendari.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Alat dan bahan yang digunakan beserta fungsinya
No. Alat dan Bahan Fungsi

1.
2.
3.

.
1.
2. A. Alat
Baki
Pisau bedah
Alat menggambar

B. Bahan
Cacing laut (Nereis sp)
Cacing tanah (Lumbricus terrestris)
- Tempat untuk membedah bahan
- Untuk membedah bahan
- Untuk menggambar morfologi dan anatomi obyek yang diamati

- Sebagai bahan yang diamati
- Sebagai bahan yang diamati







3.3 Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja pada praktikum kali ini sebagai berikut:
1. Melakukan pengamatan pada organisme annelida yang telah diambil dari perairan dan tanah
2. Meletakkan orgaisme pada baki kemudian mengidentifikasi bagian-bagian organism tersebut.
3. Menggambar bentuk secara morfologi dan anatomi pada bagian-bagian organisme yang telah diidentifikasi dan diberi keterangan pada buku gambar.
















IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Pengamatan
Adapun hasil pengamatan pada praktikum ini sebagai berikut:
1. Cacing laut (Nereis sp.)

Keterangan:
1. Kepala
2. Mulut
3. Ruas
4. Anus
5.Rambut





Gambar 25. Morfologi Nereis sp.

2 .Cacing tanah (Lumbricus terrestris)
Keterangan:
1. Mulut
2. Ruas
3. Klitellum
4. Anus





Gambar 26. Morfologi Lumbricus terrestris



4.2 Pembahasan
Pada pengamatan Nereis sp yang termasuk dalam kelas Polychaeta tampak morfologinya terdiri dari kepala, mulut, ruas, rambut dan anus . Pada tubuh Nereis sp ini ditemukan banyak bulu yang menyebar pada parapodia yang melekat pada sisi masing-masing ruas tertentu. Parapodia selain berfungsi sebagai alat gerak juga berfungsi sebagai alat pernapasan bantuan. Sedangkan tentakelnya berfungsi untuk mendeteksi makanan dan perubahan lingkungan. Pada tiap sisi lateral ruas tubuh polychaeta, kecuali kepala dan bagian ujung posterior, biasanya terdapat sepasang parapodia dengan sejumlah besar setae, parapodia merupakan pelebaran dinding tubuh yang pipih dan biramus, terdiri atas notopodium dan neuropodium, masing-masing ditunjang oleh sebuah batang kitin yang disebut acicula, gerak polychaeta disebabkan oleh perpaduan gerak antara parapodia, otot dinding tubuh dan cairan rongga tubuh. Pada bagian anterior cacing laut terdapat jaws yang berfungsi untuk mengoyak makanan dan menakuti mangsa, terdapat juga tentakel prostomial yang berfungsi untuk mendeteksi makanan dan perubahan lingkungan.
Pada pengamatan Lumbricus terrestris yang termasuk dalam kelas Oligochaeta tampak morfologinya terdiri dari mulut, ruas, clitellum dan anus. Sedangkan pada anatominya terdiri dari mulut, otak, crop, spermatheca, gizard, seminal vesicle, dorsal vessel, jantung, vas deverens, clitellum, prostate, male gonopore, intestine dan intestinal caecum. Mulut berfungsi sebagai tempat memasukkan makanan berupa substrat yang mengandung ganggang filamen, diatom, detritus, berbagai tanaman dan hewan. Pada cacing ini juga ditemukan beberapa segmen dengan epidermis yang menebal disebut clitellum yang merupakan ciri khas bagian reproduksi cacing. Clitellum digunakan sebagai alat untuk melakukan proses reproduksi dan mengandung sejumlah lendir. Pada sepertiga dari bagian depan tubuhnya terdapat clitellum yang dibentuk oleh beberapa segmen berdekatan yang mengalami penebalan. Di dalam clitellum berisi berbagai macam kelenjar atau lendir. Yang membedakan antara cacing laut dan cacing tanah yaitu pada cacing laut tidak terdapat clitellum sedangkan pada cacing darat tidak terdapat jaws pada bagian anteriornya, dan tentakel prostomial.


















V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pada morfologi dari kelas Polychaeta dengan spesies Nereis sp ini nampak adanya kepala,mulut ,ruas, anus dan parapodia atau bulu .
2. Pada morfologi dari kelas Oligochaeta dengan spesies Lumbricus terrestris ini nampak adanya mulut, ruas, clitellum dan anus. Sedangkan pada anatominya terdiri dari mulut, otak, crop, spermatheca, gizard, seminal vesicle, dorsal vessel, jantung, vas deverens, clitellum, prostate, male gonopore, intestine dan intestinal caecum.
3. Perbedaan antara cacing laut dan cacing tanah yaitu pada cacing laut tidak terdapat clitellum sedangkan pada cacing darat tidak terdapat jaws pada bagian anteriornya dan tentakel prostomial.
4. Peranan annelida bagi perikanan yaitu sebagai sumber makanan bagi ikan maupun hewan-hewan lain yang hidup di laut.
A. Saran
Pada saat praktikum berjalan agar semua anak praktikan harus memperhatikan asisten dalam menjelaskan tentang filum yang dipraktekan.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2002. Clamworm. http://www.iptek.net.id/ind/pd_invertebrata/index.php?mnu=2&id=16. Di akses pada tanggal 25 Oktober 2010 pukul 19.00 WITA.
.

Aslan, dkk., 2007. Penuntun Praktikum Avertebrata Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.

_ _ _ _ . 2008. Penuntun Praktikum Avertebrata Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.

Kikie. 2006. Klasifikasi Cacing Tanah. UGM. Yogyakarta.

Pratiwi, D.A., 2000. Buku Penuntun Praktikum Biologi I. Erlangga. Jakarta.

Romimohtarto dan Juwana. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta.

Simmon. 2004. The Clam Worm. Bali Pos. Bali








LAPORAN AVERTEBRATA AIR

(FILUM COELENTERATA)






OLEH :

NAMA : LA SUKIRMAN
NO. STAMBUK : I1A209076
PROG. STUDI : BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN : PERIKANAN
KELOMPOK : XI (SEBELAS)
ASISTEN PEMB. : ZULFATRI RANDHI



FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Filum coelenterate (Cnidaria) berasal dari kata Cnide (bahasa yunani) yang berarti sengat. Hewan dalam filum sederhana yang telah memiliki jaringan yang lebih lengkap dibanding dengan filum porifera karena pada dinding tubuhnya telah memiliki tiga lapisan yaitu ectoderm (lapisan paling luar ), mesoglea (lapisan tengah), dan gastoderm (lapisan bagian dalam) dan coelenterata hidup mulai dari periode Cambrian sampai sekarang.
Hewan karang termasuk salah satu anggota dari filum Coelenterata. Coelenterata berasal dari kata koilos yang berarti rongga tubuh atau selom dan enteron yang berarti usus. Semua hewan yang memiliki tubuh berbentuk rongga atau kantong yang digunakan sebagai usus, digolongkan ke dalam Filum Coelenterata. Karena itu Coelenterata disebut juga sebagai hewan kantong. Filum Coelenterata disebut juga Cnidaria, berasal dari kata cnide (bahasa Yunani) yang berarti sengat.
Filum Coelenterata merupakan hewan tingkat rendah yang memiliki jaringan ikat yang terdiri dari 2 bentuk individu yaitu, polip dan medusa. Polip berbentuk seperti lubang, satu ujung tertutup dan merupakan tempat untuk melekat sedangkan yang lainnya dengan mulut terletak di tengah-tengah, biasanya dikelilingi oleh tentakel yang lunak. Sedangkan medusa yaitu individu yang berenang-renang bebas dengan tubuh seperti gelatin, bentuknya mirip payung
dilengkapi dengan tentakel dan memiliki mulut yang menonjol di tengah-tengah di daerah cekung bawah (Aslan, dkk., 2007).
Anggota dari Filum Coelenterata juga memiliki peranan yang cukup penting bagi manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu sehingga diadakannya praktikum ini.
I.2. Tujuan dan Manfaat Praktikum
Tujuan diadakannya praktikum ini adalah untuk mengetahui filum coelenterata secara morfologi dan anatomi serta dapat mengetahui dan mengklasifikasikan filum coelenterate.
Manfaat diadakannya praktikum ini adalah sebaga bahan masukan untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta jenis-jenis mengenai filum coelenterate.







II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Klasifikasi
1. Anemon (Metridium sp.)


Gambar 37. Metridium sp.
Menurut Suwignyo (2005), klasifikasi anemon laut sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Colenterata
Sub filum : Invertebrata
Sub class : Zoantharia
Class : Anthozoa
Ordo : Actiniaria
Famili : Actiniaceae
Genus : Metridium
Spesies : Metridium sp.
2. Karang (Coral)



Gambar 38. Corel

Menurut Suwignyo (2005), klasifikasi karang batu sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Colenterata
Sub filum : Invertebrata
Sub class : Zoantharia
Class : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Famili : Scleracticeae
Genus : Acropora
Spesies : Corel
2.2 Morfologi dan Anatomi
Dari segi morfologinya Phylum Coelenterata memiliki tubuh simetri radial, struktur tubuh coelenterata dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu polyp yang hidup menetap dan medusa yang hidup berenang bebas. Bentuk polyp lebih kurang silindris, dengan satu ujung disebut oral yang mengandung mulut yang dikelilingi tentakel di ujung lainya yang menempel pada substrat disebut aboral. Sedangkan struktur anatominya, dinding tubuhnya terdiri atas 3 lapisan, yaitu epidermis merupakan lapisan paling luar, endodermis merupakan lapisan paling dalam dan membatasi rongga pencernaan, serta mesoglea yang terletak di antara epidermis dan gastrodsermis (Suwignyo, 2005).
Pada tubuh coelenterata sebelah atas terdapat lubang mulut, dikelilingi oleh lengan-lengan yang disebut tentakel. Jumlah tentakel bermacam-macam, tergantung spesiesnya. Pada permukaan tentakel terdapat sel-sel beracun yang dapat mengeluarkan racun bila disentuh. Sel-sel beracun tersebut dinamakan knidoblas atau sel penyengat atau nematosis. Ini digunakan sebagai senjata pengusir mangsa, atau untuk melemahkan mangsa yang tertangkap tentakel. Tentakel dapat bergerak karena aliran air. Tubuhnya seperti kantong atau tabung, dan terdapat bagian “kaki” untuk menempelkan diri pada benda lain di dalam air (Anonim, 2004).

II.3. Habitat dan Penyebarannya
Filum Coelenterata terdapat sekitar 9.500 spesies, kebanyakan hidup di laut, dan hanya 14 spesies dari kelas Hydrozoa yang hidup di air tawar. Biasanya terdapat di perairan dangkal, dan melekat pada substrat dan terumbu karang, ekosistem karang merupakan suatu ekosistem khas daerah tropik di perairan dengan temperatur tropis atau subtropis dan terletak antara 30° LU dan 30° LS equator. Karang tumbuh dan berkembang di laut tropis pada tempat yang relatif dangkal, hangat dan umumnya dekat dengan pantai. Karang tumbuh pada daerah yang lautnya cukup jernih, temperatur antara 15-30. Habitat hidup karang memerlukan penetrasi cahaya yang cukup dan kedalaman yang sesuai yaitu antara 1-30 m, gelombang atau ombak tidak terlalu besar demikian pula perbedaan tinggi pasang dan surut (Naim, 2007).
Habitat anemon laut umunya hidup di daerah pasang surut dan mengambil pasir/pecahan cangkang keong untuk ditutupkan di badannya sebagai pelindung. Sebagian anemon laut hidup di atas karang batu, beberapa jenis melintang di pasir dan lumpur (Anonim, 2006).

















III. METODE PRAKTIKUM


3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 6 September 2010 pukul 09.00-Selesai dan bertempat di Laboratorium C, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Univeritas Haluoleo, Kendari.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 3. Alat dan bahan yang digunakan beserta fungsinya
No. Alat dan Bahan Fungsi
1.




2.
Alat
- Baki (Disecting-pan)
- Pisau bedah (Scalpel)
- Alat menggambar

Bahan
- Anemon(Metridium sp.)
- Karang (Corel)
- Tempat untuk membedah bahan
- Untuk membedah bahan
- Untuk menggambar morfologi dan anatomi obyek yang diamati

- Sebagai obyek yang diamati
- Sebagai obyek yang diamati




3.3 Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja pada praktikum kali ini sebagai berikut:
1. Melakukan pengamatan pada organisme filum coelenterata yang telah diambil dari perairan.
2. Meletakan organisme pada baki kemudian mengidentifikasi bagian-bagian organisme tersebut.
3. Menggambar bentuk secara morfologi daan anatomi bagian-bagian organism yang telah diidentifikasi dan diberi keterangan pada buku gambar.















IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Pengamatan
Adapun hasil pengamatan pada praktikum ini sebagai berikut:

1. Anemon (Metridium sp)

Keterangan
1. Mulut
2. Pharix
3. Gonads




Gambar. 39 Morfologi Metridium sp.

2. Karang (Corel)

Keterangan:
1. Tentakel
2. Nematocyst
3. Epidermis





Gambar 40. Corel

4.2 Pembahasan
Pada pengamatan anemon laut (Metridium sp.) yang termasuk dalam kelas Anthozoa tampak bahwa morfologinya terdiri dari mulut, pharix, dan gonads. Di bagian oral agak melebar terdapat mulut yang dikellilingi tentakel bolong berjumlah 6 helai sampai beberapa ratus helai. Tentakel tersebut mengandung nematosis yang berfungsi sebagai mulut dan melumpuhkan mangsanya. Jumlah tentakel bermacam-macam, tergantung spesiesnya. Pada permukaan tentakel terdapat sel-sel beracun yang dapat mengeluarkan racun bila disentuh. Sel-sel beracun tersebut dinamakan knidoblas atau sel penyengat atau nematosis. Ini digunakan sebagai senjata pengusir mangsa, atau untuk melemahkan mangsa yang tertangkap tentakel. Tentakel dapat bergerak karena aliran air. Tubuhnya seperti kantong atau tabung, dan terdapat bagian “kaki” untuk menempelkan diri pada benda lain di dalam air.
Pada pengamatan karang (Corel.) yang termasuk dalam kelas Anthozoa tampak bahwa morfologi dan anatominya terdiri dari tentakel, nematocyst dan epidermis. Menurut Suwignyo (2005), polip corel adalah karnivora atau pemakan detritus. Kegiatan makan dan mengembangkan tentakel dilakukan pada malam hari. Filamen melebar samapi ke tengah rongga gastrovaskular, bahkan keluar dari mulut apabila memakan mangsa yang besar. Rangka luar terdiri dari kristal CaCO3 menghasilkan rangka kapur berbentuk seperti mangkuk.




V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pada morfologi dan anatomi dari kelas Anthozoa dengan spesies Metridium sp. ini nampak adanya mulut, pharix dan gonads.
2. Pada morfologi dan anatomi dari kelas Anthozoa dengan spesies Corel nampak adanya tentakel, nematocyst dan epidermis.

5.2 Saran
Agar setiap selesai melakukan praktikum harus di bersihkan semua bahan-bahan yang telah di pakai.









DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2004. Invertebrata. http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID5.
Di akses pada tanggal 10 November 2010 pukul 19.00 WITA.

_ _ _ _ _. 2006. Habitat Anemon Laut.
http://www.kambing.ui.ac.id/bebas/v12/Sponsor- Pendamping/Praweda/Biologi/0018%Bio%201-4d.htm. Di akses pada tanggal 10 Noveber 2010 pukul 19.00 WITA.

Naim, A. 2007. Deskripsi Karang dan Habitatnya. Erlangga. Jakarta.

Suwignyo, dkk. 2005. Avertebrata Air Jilid I. Penebar Swadaya. Bogor.

kumpulan laporan aver

Kamis, 17 Maret 2011

pewarnaan

A. PENDAHULUAN
Melihat dan mengamati bakteri dalam keadaan hidup sangat sulit, kerena selain bakteri itu tidak berwarna juga transparan dan sangat kecil. Untuk mengatasi hal tersebut maka dikembangkan suatu teknik pewarnaan sel bekteri, sehingga sel dapat terlihat jelas dan mudah diamati. Olek karena itu teknik pewarnaan sel bakteri ini merupakan salahsatu cara yang paling utama dalam penelitian-penelitian mikrobiologi.
Prinsip dasar dari pewarnaan ini adalah adanya ikatan ion antara komponen selular dari bakteri dengan senyawa aktif dari pewarna yang disebut kromogen. Terjadi ikatan ion karena adanya muatan listrik baik pada komponen seluler maupun pada pewarna. Berdasarkan adanya muatan ini maka dapat dibedakan pewarna asam dan pewarna basa
Pewarna asam dapat tejadi karena bila senyawa pewarna bermuatan negatif. Dalam kondisi pH mendekati netral dinding sel bakteri cenderung bermuatan negatif, sehingga pewarna asam yang bermuatan negatif akan ditolak oleh dinding sel, maka sel tidak berwarna. Pewarna asam ini disebut pewrna negatif. Contoh pewarna asam misalnya : tinta cina, larutan Nigrosin, asam pikrat, eosin dan lain-lain. Pewarnaan basa bisa terjadi biasenyawa pewarna bersifat positif, sehingga akan diikat oleh dinding sel bakteri dan sel bakteri jadi terwarna dan terlihat. Contoh dari pewarna basa misalnya metilin biru, kristal violet, safranin dan lain-lain.
Teknik pewarnaan asam basa ini hanya menggunakan satu jenis senyawa pewarna, teknik ini disebut pewarna sederhana. Pewarnaan sederhana ini diperlukan untuk mengamati morfologi, baik bentukmaupun susunan sel. Teknik pewarnaan yang lain adalah pewarnaan diferensial, yang menggunakan senyawa pewarna yang lebih dari satu jenis. Diperlukan untuk mengelompokkan bakteri misalnya, bakteri gram positif dan bakteri gram negatif atau bakteri tahan asam dan tidak tahan asam. Juga diperlukan untuk mengamati struktur bakteri seperti flagela, kapsula, spora dan nukleus.
Teknik pewarnaan bukan pekerjaan yang sulit tapi perlu ketelitian dan kecermatan bekerja serta mengikuti aturan dasar yang belkau yakni sebagai berikut:
mempersiapkan kaca obyek. Kaca obyek ini harus bersih dan bebas lemak, untuk membuat apusan dari bakteri yang diwarnai.
mempersiapkan apusan. Apusan yang baik adalah yang tipis dan kering, terlihat seperti lapisan yang tipis.
Apusan ini dapat berasal dari biakan cair atau padat.
Biakan Cair. Suspensi sel sebanyak satu atau dua mata jarum inokulasi diletakkan pada kaca obyek. Lalu diapuskan pada kaca obyek selebar ... cm. Biarkan mengering diudaraata diatas api kecil dengan jarak 25 cm. Biakan Padat. Bakteri yang dikultur pada medium padat tidak dapat langsung dibuat apusan seperti dari biakan cair, tapi harus diencerkan dulu. Letakkan setetes air pada kaca obyek, lalu denganjarum inokulasi ambil bakteri dari biakan padat, letakkan pada tetesan air dan apusan. Biarkan mengering diudara.• Fiksasi dengan pemanasan. Apusan bakteri pada akaca obyek bila tidak diletakkan secara kuat, dapat terhapus pada waktu proses pewarnaan lebih lanjut. Proses peletakan apusan pada kaca obyek dapat dilakukan diantaranyadengan cara memanaskan diatas api.
B. DASAR TEORI
-pewarnaan gram
Proses pewarnaan diferensial ini memerlukan 4 jenis reagen. Bakteri terbagi atas dua kelompok berdasarkan pewarnaan ini, yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Perbedaan ini berdasarkan warna yang dapat dipertahankan bakteri. Reagen pertama disebut warna dasar, berupa pewarna basa, jadi pewarna ini akan mewarnai dengan jelas. Reagen kedua disebut bahan pencuci warna (decolorizing agent). Tercuci tidaknya warna dasar tergantung pada komposisi dinding sel, bilakomponen dinding sel kuat mengikat warna, maka warna tidak akan tercuci sedangkan bila komponen dinding sel tidak kuat menelan warna dasar, maka warna akan tercuci. Reagen terakhir adalah warna pembanding, bila warna tidak tercuci maka warna pembanding akan terlihat, yang terlihat pada hasil akhir tetap warna dasar.
Bakteri hidup sulit untuk dilihat dengan mikroskop cahaya terang biasa karena bakteri itu tampak tidak berwarna jika diamati secara sendiri, walaupun biakannya secara keseluruhan mungkin berwarna. Bakteri sering diamati dalam keadaan olesan terwarnai daripada dalam keadaan hidup. Yang dimaksud dengan bakteri terwarnai adalah oganisme yang telah diwarnai dengan zat pewarna kimia agar mudah dilihat dan dipelajari (Volk dan Whleer, 1998).
Sel-sel mikroorganisme yang tidak diwarnai umumnya tampak hampir tembus pandang (transparan) bila diamati dengan mikroskop cahaya biasa hingga sukar dilihat karena sitoplasma selnya mempunyai indeks bias yang hampir sama dengan indeks bias lingkungannya yang bersifat cair. Kontras antara sel dan latar belakangnya dapat dipertajam dengan cara mewarnai sel-sel tersebut dengan zat-zat warna (Hadioetomo, 1990).
Pada umumnya, olesan bakteri terwarnai mengungkapkan ukuran, bentuk, susunan dan adanya struktur internal seperti spora dan butiran zat pewarna khusus diperlukan untuk melihat bentuk kapsul ataupun flagella, dan hal-hal terperinci tertentu di dalam sel. Zat pewarna adalah garam yang terdiri atas ion positif dan ion negatif, yang salah satu diantaranya berwarna (Volk dan Whleer, 1998).
Sel bakteri dapat teramati dengan jelas jika digunakan mikroskop dengan perbesaran 100x10 yang ditambah minyak imersi. Jika dibuat preparat ulas tanpa pewarnaan, sel bakteri sulit terlihat. Pewarnaan bertujuan untuk memperjelas sel bakteri dengan menempelkan zat warna ke permukaan sel bakteri. Zat warna dapat mengabsorbsi dan membiaskan cahaya, sehingga kontras sel bakteri dengan sekelilingnya ditingkatka. Zat warna yang digunakan bersifat asam atau basa. Pada zat warna basa, bagian yang berperan dalam memberikan warna disebut kromofor dan mempunyai muatan positif. Sebaliknya pada zat warna asam bagian yang berperan memberikan zat warna memiliki muatan negatif. Zat warna basa lebih banyak digunakan karena muatan negatif banyak banyak ditemukan pada permukaan sel. Contoh zat warna asam antara lain Crystal Violet, Methylene Blue, Safranin, Base Fuchsin, Malachite Green dll. Sedangkan zat warna basa antara lain Eosin, Congo Red dll (Irawan, 2008).
Banyak senyawa organik berwarna (zat warna) digunakan untuk mewarnai mikroorganisme untuk pemeriksaan mikroskopik dan telah dikembangkan prosedur pewarnaan untuk (Suriawiria, 1985) :
- Mengamati dengan baik morfologi mikroorganisme secara kasar.
- Mengidentifikasi bagian-bagian struktural sel mikroorganisme.
- Membantu mengidentifikasi atau membedakan organisme yang serupa.

Langkah-langkah utama dalam persiapan spesimen mikroba untuk pemeriksaan mikroskopik adalah (Pelczar, 1986) :
- Penempatan olesan atau lapisan spesimen pada kaca objek.
- Fiksasi olesan pada kaca objek.
- Aplikasi pewarna tunggal (pewarnaan sederhana) atau serangkaian larutan pewarna atau reagen (pewarnaan diferensial.
Pewarnaan atau pengecatan terhadap mikroba, banyak dilakukan baik secara langsung (bersama bahan yang ada) ataupun secara tidak langsung (melalui biakan murni). Tujuan dari pewarnaan tersebut adalah pewarnaan untuk (Suriawiria, 1985) :
- Mempermudah melihat bentuk jasad baik bakteri, ragi ataupun fungi.
- Memperjelas ukuran dan bentuk jasad
- Melihat struktur luar dan kalau memungkinkan juga struktur dalam jasad.
- Melihat reaksi jasad terhadap pewarna yang diberikan sehingga sifat fisik dan kimia yang ada akan dapat diketahui.
Pewarna yang digunakan pada umumnya berbentuk senyawa kimia khusus yang akan memberikan reaksi kalu mengenai bagian tubuh jasad. Karena pewarnaan tersebut berbentuk ion yang bermuatan positif ataupun negative. Sel bakteri bermuatan mendekati negatif kalau dalam keadaan pH mendekati netral. Sehingga kalau kita memberikan pewarnaan yang bermuatan positif ataupun negatif (Suriawiria, 1985).
Pewarnaan Sederhana (Pewarnaan Positif). Sebelum dilakukan pewarnaan dibuat ulasan bakteri di atas object glass yang kemudian difiksasi. Jangan menggunakan suspensi bakteri yang terlalu padat, tapi jika suspensi bakteri terlalu encer, maka akan diperoleh kesulitan saat mencari bakteri dengan mikroskop. Fiksasi bertujuan untuk mematikan bakteri dan melekatkan sel bakteri pada object glass tanpa merusak struktur selnya (Campbell dan Reece, 2005)).
Pewarnaan Negatif. Beberapa bakteri sulit diwarnai dengan zat warna basa. Tapi mudah dilihat dengan pewarnaan negatif. Zat warna tidak akan mewarnai sel melainkan mewarnai lingkungan sekitarnya, sehingga sel tampak transparan dengan latar belakang hitam (Campbell dan Reece, 2005).
Setelah dilihat di mikroskop, maka akan tampak bentuk sel bakteri. Berikut merupakan berbagai bentuk sel bakteri (Anonim, 2008):


Pewarnaan Gram adalah pewarnaan diferensial yang sangat berguna dan paling banyak digunakan dalam laboratorium mikrobiologi, karena merupakan tahapan penting dalam langkah awal identifikasi. Pewarnaan ini didasarkan pada tebal atau tipisnya lapisan peptidoglikan di dinding sel dan banyak sedikitnya lapisan lemak pada membran sel bakteri. Jenis bakteri berdasarkan pewarnaan gram dibagi menjadi dua yaitu gram positif dan gram negatif. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang tebal dan membran sel selapis. Sedangkan baktri gram negatif mempunyai dinding sel tipis yang berada di antara dua lapis membran sel (Irawan, 2008).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pewarnaan gram adalah sebagai berikut (Irawan, 2008):
a. Fase yang paling kritis dari prosedur di atas adalah tahap dekolorisasi yang mengakibatkan CV-iodine lepas dari sel. Pemberian ethanol jangan sampai berlebih yang akan menyebabkan overdecolorization sehingga sel gram positif tampak seperti gram negatif. Namun juga jangan sampai terlalu sedikit dalam penetesan etanol (underdecolorization) yang tidak akan melarutkan CV-iodine secara sempurna sehingga sel gram negatif seperti gram positif.
b. Preparasi pewarnaan gram terbaik adalah menggunakan kultur muda yang tidak lebih lama dari 24 jam. Umur kultur akan berpengaruh pada kemampuan sel menyerap warna utama (CV), khususnya pada gram positif. Mungkin akan menampakkan gram variabel yaitu satu jenis sel, sebagian berwarna ungu dan sebagian merah karena pengaruh umur. Walaupun ada beberapa species yang memang bersifat gram variabel seperti pada genus Acinetobacter dan Arthrobacter.
Pewarnaan Endospora. Anggota dari genus Clostridium, Desulfomaculatum dan Bacillus adalah bakteri yang memproduksi endospora dalam siklus hidupnya. Endospora merupakan bentuk dorman dari sel vegetatif, sehingga metabolismenya bersifat inaktif dan mampu bertahan dalam tekanan fisik dan kimia seperti panas, kering, dingin, radiasi dan bahan kimia. Tujuan dilakukannya pewarnaan endospora adalah membedakan endospora dengan sel vegetatif, sehingga pembedaannya tampak jelas (Irawan, 2008).
Endospora tetap dapat dilihat di bawah mikroskop meskipun tanpa pewarnaan dan tampak sebagai bulatan transparan dan sangat refraktil. Namun jika dengan pewarnaan sederhana, endospora sulit dibedakan dengan badan inklusi (kedua-duanya transparan, sel vegetatif berwarna), sehingga diperlukan teknik pewarnaan endospora. Berikut merupakan beberapa tipe endospora dan contohnya (Irawan, 2008):
C. TUJUAN
Mengamati dan membedakan struktur yang terdapat dalam sel bakteri dan juga untuk membedakan kelompok bakteri berdasarkan reaksinya terhadap warna yang sekaligus menunjukkan sifat bakteri tersebut.
D. ALAT dan BAHAN
• Kaca obye• Jarum Inokulasi
• Mikroskop
• Tissue
• Aquades steril
• Pewarna dasar : kristal violet
• Larutan pengikat warna dasar : Larutan Iodin
• Larutan pencuci warna dasar : Alkohol ... %
• Pewarna pembanding : Lar. Safranin
• Biakan murni bakteri
E. CARA KERJA
1. Sediakan kaca benda yang bersih, lalu lewatkan diatas nyala api bunsen
2. teteskan setetes aquades steril diatas kaca benda tersebut
3. secara aseptik ambilah inokulum bakteri yang akan diperksa, lalu letakkan diatas tetesan aquades itu, kemudian ratakan perlahan-lahan
4. ambil kaca benda yang tegak sehingga apusan menjadi tipis dan merata. Biarkan sampai kering
5. fiksasi dengan cara melewatkan apusan tersebut diatas nyala api dengan cepat
6. letakkan apusan diatas kawat penyangga yang berada diatas mangkuk pewarna. Lalu teteskan larutan kristal violet pada apusan dan biarkan selama 30-60 detik
7. cuci warna dasar dengan air mengalir, keringkan
8. teteskan larutan iodin pada apusan, biarkan selama 30-60 detik
9. cuci larutan iodin dengan air mengalir, keringkan
10. rendam atau basuh dengan alkohol ... % selama ... detik
11. teteskan larutan safranin, biarkan selama 30-60 detik
12. cuci dengan air mengalir, lalu keringkan
13. amati dengan mikroskop
14. gambar bentuk morfologi














DAFTAR PUSTAKA


Campbell, N. A. Dan Reece, J. B., 2005. Biologi Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Hadioetomo, R, S., 1990. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Gramedia. Jakarta.
Irawan, 2008. Teknik Pewarnaan Mikroba. http://wordbiology.wordpress.com. Diakses pada hari Senin, 13 April 2008 pada pukul 19.00 WITA.
Pelczar, M. W., 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. UI Press. Jakarta.
Suriawiria, U., 1985. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Gramedia. Jakarta.
Volk, W. A. dan Margareth F.

Metode isolasi bakteri dengan cawan

1. Metode cawan gores (streak plate)
Metode cawan gores cukup sulit bagi pemula, terutama mahasiswa semester awal yang baru mengambil mata praktikum mikrobiologi. Kesulitan dari metode ini, yaitu proses penggoresan yang cukup lama dan sulit, sehingga memudahkan terjadinya kontaminasi dan kegagalan. Prinsip metode ini, yaitu mendapatkan koloni yang benar-benar terpisah dari koloni yang lain, sehingga mempermudah proses isolasi.
Cara ini dilakukan dengan membagi cawan petri menjadi 3-4 bagian. Ose steril yang telah disiapkan dilekatkan pada sumber isolat, kemudian menggoreskan ose tersebut pada cawan berisi media steril. Goresan dapat dilakukan 3-4 kali membentuk garis horisontal di satu sisi cawan. Ose disterilkan lagi dengan api bunsen, setelah kering ose tersebut digunakAn untuk menggores goresan sebelumnya pada sisi cawan kedua. Langkah ini dilanjutkan hingga keempat sisi cawan tergores.
Pada metode ini, goresan di sisi pertama diharapkan koloni tumbuh padat dan berhimpitan, sedangkan pada goresan sisi kedua, koloni mulai tampak jarang dan begitu pula selanjutnya, sehingga didapatkan koloni yang tampak tumbuh terpisah dengan koloni lain. Seluruh tahap hendaknya dilakukan secara aseptik agar tak terjadi kontaminasi.
2. Metode cawan tuang (pour plate)
Metode cawan tuang sangat mudah dilakukan karena tidak membutuhkan keterampilan khusus dengan hasil biakan yang cukup baik. Metode ini dilakukan dengan mengencerkan sumber isolat yang telah diketahui beratnya ke dalam 9 ml garam fisiologis (NaCl 0.85%) atau larutan buffer fosfat. Larutan ini berperan sebagi penyangga pH agar sel bakteri tidak rusak akibat menurunnya pH lingkungan. Pengenceran dapat dilakukan beberapa kali agar biakan yang didapatkan tidak terlalu padat atau memenuhu cawan (biakan terlalu padat akan mengganggu pengamatan).
Sekitar 1 ml suspensi dituang ke dalam cawan petri steril, dilanjutkan dengan menuangkan media penyubur (nutrien agar) steril hangat (40-50oC) kemudian ditutup rapat dan diletakkan dalam inkubator (37oC) selama 1-2 hari.
Penuangan dilakukan secara aseptik atau dalam kondisi steril agar tidak terjdi kontaminasi atau tumbuh atau masuknya organisme yang tidak diinginkan (di laboratorium, kontaminasi biasanya terjadi akibat tumbuhnya kapang, seperti Penicilium dalam biakan). Media yang dituang hendaknya tidak terlalu panas, karena selain mengganggu proses penuangan (media panas sebabkan tangan jadi panas juga), media panas masih mengeluarkan uap yang akan menempel pada cawan penutup, sehingga mengganggu proses pengamatan. pada metode ini, koloni akan tumbuh di dalam media agar. Kultur diletakkan terbalik, dimasukkan di dalam plastik dengan diikat kuat kemudian diletakkan dalam inkubator